BUDAYA BATAK
Halo
teman-teman apa kabar? Pastinya sehat kan? Pada Kesempatan Kali ini saya akan
mencoba menjelaskan dan menguraikan tentang budaya batak. Saya memilih untuk
menjelaskan tentang budaya batak ini dikarenakan saya sendiri adalah orang
batak, jadi setidaknya saya sudah tau sedikit banyak tentang kebudayaan suku
ini. Dari pada saya mencoba untuk menjelaskan tentang kebudayaan suku lain dan
takut nya saya salah penjelasan dan menyinggung perasaan orang lain :D
Teman-teman
pastinya sudah pernah mendengar kata “suku batak” bukan?? (hehe)
Buat teman-teman yang belum pernah mendengar yaudah
saya coba jelasin dulu yah.. Jadi Suku Batak adalah salah satu dari suku asli
penduduk Provinsi Sumatera Utara. Kenapa saya bilang “salah satu suku asli”
? Karena sebenarnya suku asli yang ada
diprovinsi tersebut ngga Cuma satu. Yang saya ketahui suku-suku asli yang ada
diprovinsi ini adalah: Suku Nias dan Suku Batak.
Nah,
sekarang kita lebih fokus kesuku batak dulu ya teman-teman. Oh ya, sekedar info
bahwa orang batak juga menganut istilah “Marga” yang mana marga anak pada suku
batak meng-ikuti marga bapaknya. Didalam suku batak, tidak peduli batak
toba,batak kalo,dll Persaudaraan dijadikan nomor 1. Hal ini dapat kita amati
dengan cara waktu bertemu dengan orang yang mempunyai marga sama atau marganya
ada hubungannya dengan marga kita maka secara tidak langsung kita dianggap
adik/kakak nya, walaupun mereka belum saling kenal. (Jika orang yang tau adat).
Oh
ya, sebenarnya suku batak memiliki beberapa subsuku. Yaitu :
. Toba
. Karo
. Angkola
. Mandailing
. Simalungun
. Pakpak
Pada pokok pembahasan kali ini, saya
memfokuskan kearah Batak Toba. Kenapa? Karena saya sendiri adalah orang batak
toba, jadi setidaknya satu sedikit tau tentang sub suku saya ini. Adapun yang
akan saya bahas kali ini adalah:
- Asal Mula Nenek Moyang
- Sistem Kekerabatan
- Rumah Adat
- Pakaian Adat
Baik, langsung saja kita ke pokok
pembahasannya
,
1. ASAL MULA SUKU BATAK
Tidak ada bukti kuat mengenai sejak kapan nenek moyang orang Batak mendiami wilayah Sumatra. Akan tetapi penelitian antropologi menunjukkan bahwa bahasa dan bukti-bukti arkeologis yang ada membuktikan hijrahnya penutur bahasa Austronesia dari Taiwan ke Indonesia dan Filipina. Ini terjadi sekitar 2.500 tahun silam. Bisa jadi mereka adalah nenek moyang suku bangsa Batak.
Tidak adanya artefak zaman Neolitikum yang ditemukan di wilayah suku Batak membuat para peneliti menyimpulkan bahwa nenek moyang suku Batak baru hijrah ke Sumatra Utara pada zaman logam. Selain itu, pedagang-pedagang internasional dari India mulai mendirikan kota dagang di Sumatra Utara pada abad ke-6.
Mereka berinteraksi dengan masyarakat pedalaman, yakni orang Batak dengan membeli kapur-kapur barus buatan orang Batak. Kapur barus buatan orang Batak dikenal bermutu tinggi.
2. Sistem
Kekerabatan(Kekeluargaan)
Dalam budaya batak, sistem kekerabatan
lebih akrap disebut dengan istilah “Dali Han Natolu”
Isi atau inti dari DHN (Dalihan Na Tolu) mengatur tentang:
1. Hubungan kita dengan "dongan
sabutuha" atau yang dikenal dengan istilah "Manat mardongan
tubu." (Bersikap baik/sopan kepada orang yang se-Marga)
Pada waktu
ini acap kali diperlengkapi dan berbunyi: "Molo naeng ho sanggap, manat ma
ho mardongan tubu." Artinya : Jika kamu ingin menjadi orang terhormat,
hati-hatilah dan cermat dalam bergaul dengan "dongan sabutuha" (teman
semarga).
Keterangan tentang pesan pertama ini
sebagai berikut.
Adapun
"dongan sabutuha" itu dipandang oleh orang Batak sebagai dirinya
sendiri dan dalam pergaulan antar mereka sehari hari tidak dihiraukan segi basa
basi, sehingga adik acap kali tidak hormat terhadap abangnya dan demikian juga
anak terhadap paktua dan pakciknya, hal mana acap kali menimbulkan perasaan
kurang senang di pihak yang merasa dirugikan. Maka untuk menghindarkan itu
diberilah oleh leluhur kita pesan yang tersebut di atas, agar kita hati-hati
menghadapi "dongan sabutuha" kita. Untuk itu harus kita periksa
dahulu kedudukan "dongan sabutuha" itu dalam "tarombo"
(tambo, silsilah keturunan terhadap kita). Pada waktu ini tidak sulit lagi
memeriksa hal itu. Tiap orang Batak yang tahu "tarombo"nya mengetahui
tingkat generasinya pada "tarombo"-nya itu. Misalnya "dongan
sabutuha" kita itu bertingkat generasi 16 dan kita sendiri tingkat 17,
maka ia masuk golongan ayah kita. sehingga ia harus kita hormati sebagai ayah
kita sendiri. Kalau ada jamuan makan janganlah kita mempertahankan tempat duduk
kita di "juluan" (tempat terhormat) kalau nampak seorang "dongan
sabutuha" dari golongan lebih tinggi (abang, ayah atau nenek) belum
mendapat tempat yang layak, tetapi kita harus mempersilakan dia. duduk di
tempat duduk kita sendiri, sekalipun menurut umur, kita lebih tua dari dia.
Dalam hal
kita lebih tua dari dia, maka "dongan sabutuha" itu yang tentu juga
mengetahui pesan leluhur kita itu, tidaklah akan gegabah terus menerima ajakan
kita itu, tetapi dengan spontan ia akan menolak serta berkata, "Ah, tidak,
yang tua-tua harus di hormati, tinggallah di situ, terimakasih." Dalam pada
itu ia sudah senang dan puas karena penghormatan kita itu. Dalam hal musyawarah
pun atau pada rapat menyelesaikan perselisihan hendaklah kita selalu
mengindahkan betul-betul basa-basi terhadap "dongan sabutuha". Dengan
jalan demikian maka semua "dongan sabutuha" akan selalu solider atas
tindakan tindakan kita dan akan menghormati dan menghargai kita dengan
sewajarnya; hal ini berpengaruh juga kepada orang disekeliling kita.
2. Hubungan kita dengan
"hulahula" atau yang istilahnya "Somba marhulahula".
Hula-Hula adalah seseorang laki-laki
yang satu marga dengan istri. Dalam adat batak, diajarkan untuk sopan dan
menghargai hula-hula. Adapun "hulahula" itu dipandang
oleh orang Batak sebagai media (penengah) yang sangat berkuasa untuk mendoakan
"hagabeon" dari Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan ini telah menjadi
darah daging bagi orang Batak berdasarkan pengalaman dan kenyataan. Itulah yang
membuat penghormatan tinggi dan menonjol terhadap "hulahula". Juga
dalam hal penyelesaian perselisihan dengan "hulahula", penghormatan
itu tetap dipertahankan sebagaimana nampak dengan jelas pada suatu sebutan khas
Batak, yang berbunyi "Sada sala niba, pitu sala ni hulahula, sai hulahula
i do na tutu". Artinya : Walau ada 7 buah kesalahan "hulahula"
dan salah kita hanya satu, maka "hulahula" itulah selalu dipihak yang
benar. Maksudnya : Kita harus selalu mengalah terhadap "hulahula",
karena walaupun nampaknya kita menderita rugi, namun akibatnya selalu
menguntungkan kita, karena walaupun "hulahula" itu kita buat menang
dalam perselisihan itu sehingga ia mendapat keuntungan materi, namun ada lagi
sebuah sebutan khas Batak yang bunyinya, "Anggo tondi ni hulahula i sai
tong do mamasumasu iba". Artinya : Namun, roh "hulahula" itu
tetap mendoakan kebahagiaan untuk kita. Dan menurut filsafat Batak: Roh atau
jiwa itu lebih berkuasa dari badan.
3. Hubungan kita dengan "boru"
atau yang istilahnya "Elek marboru"
Sebenarnya
menurut 'adat Batak, "boru" itu dalam hubungan kekeluargaan berada di
bawah kita, sehingga boleh kita suruh mengerjakan sesuatu. Namun anjuran
leluhur Batak ialah agar permintaan-permintaan kita kepada "boru"
sekali-kali tak boleh menyerupai perintah tetapi harus berupa dan bersifat
bujukan. Leluhur Batak tahu benar bahwa bujukan lebih kuat daripada paksaan dan
selain itu bujukan itu dapat tetap memelihara kasih sayang di antara
"boru" dan "hulahula", yang tidak dapat dicapai dengan
paksaan. Maka dengan bujukan besarlah harapan kita akan memperoleh semua yang
kita minta dari boru kita, yang membuat kita kaya. Perkataan "kaya"
di sini harus diartikan "perasaan kaya", yang maksudnya
"perasaan senang". Dan memang orang yang merasa senanglah yang paling
kaya di dunia ini dan bukanlah dengan sendirinya yang memiliki uang atau harta
yang terbanyak.
Leluhur
batak juga mempunyai satu petuah untuk penerusnya diluar dari inti Dalihan Na
Tolu diatas, adapun petuah itu “Molo naeng ho martua di tano on, pasangap me
natorasmu."
(Artinya: Jika kamu ingin berbahagia. di
dunia ini, hormatilah orang tuamu.)
Adapun petuah ini boleh dikatakan hanyalah
tambahan dari ketiga pesan pertama yang tersebut di atas dan baru menonjol
setelah banyak orang Batak memeluk agama Kristen atau Islam. Kita maklum, bahwa
agama memerintahkan kepada manusia menghormati orang tuanya
3. Rumah adat Suku Batak
*Rumah Bolon
Rumah adat ini menjadi simbol status sosial masyarakat Batak yang
tinggal di Sumatera Utara. Dahulu Rumah Bolon ditinggali oleh para raja di
Sumatera Utara. Ada 13 kerajaan yang bergantian menempati Rumah Bolon, yaitu Tuan Ranjinman , Tuan Nagaraja , Tuan Batiran , Tuan Bakkaraja , Tuan
Baringin , Tuan Bonabatu
, Tuan Rajaulan , Tuan Atian , Tuan Hormabulan , Tuan
Raondop , Tuan Rahalim
, Tuan Karel Tanjung , dan Tuan Mogang . Tetapi sekarang Rumah
Bolon menjadi objek wisata di Sumatera Utara.
Rumah Bolon memiliki kolong di bagian bawah rumah yang tingginya
sekitar dua meter. Kolong tersebut digunakan untuk memelihara hewan, seperti
kerbau, babi, ayam, dan sebagainya.
Untuk masuk ke Rumah Bolon, kita harus menunduk, karena pintunya
pendek dan berukuran kecil. Hal ini menandakan, bahwa tamu yang datang ke rumah
tersebut harus menghormati tuan rumah dengan cara menunduk saat memasuki rumah.
Pada bagian depan Rumah Bolon, terdapat gorga yang terletak di
atas pintu. Gorga adalah sebuah lukisan berwarna merah, hitam, dan putih.
*salah satu
contoh motif gorga
Lukisan tersebut bergambar hewan, seperti cicak dan kerbau atau
hal lain, yang mana setiap hal itu mempunyai makna tersendiri. Contohnya, hewan
cicak bermakna orang Batak mampu bertahan hidup di manapun ia berada, meski
merantau ke tempat jauh sekalipun. Hal ini dikarenakan orang Batak memiliki
rasa persaudaraan yang sangat kuat dan tidak terputus antar sesama sukunya.
Sedangkan gambar kerbau memiliki makna sebagai ucapan terima kasih atas bantuan
kerbau yang telah membantu manusia dalam pekerjaaan di ladang.
4. Pakaian
Adat (Ulos)
Mangulosi adalah salah satu hal yang teramat penting
dalam adat Batak. Kenapa begitu dan darimana semua ini bermula ? Beginilah
filsafatnya, Dulu para nenek moyang kita selalu berusaha untuk menghangatkan
tubuhnya dengan berbagai cara untuk kesehatan dan kenyamanan. Masalahnya, para
leluhur kita hidupnya bukanlah di kota-kota besar, tetapi di pegunungan yang
jauh di atas permukaan laut ( sea level ). Jadi jangan tersinggung kalau salah
satu sebutan untuk bangso kita adalah ‘ Orang Gunung ‘.
Di daerah tadi, tentu saja suhunya sangat dingin dan leluhur kita selalu mencari akal untuk menciptakan rasa hangat yang ideal. Satu contohnya bisa kita lihat dari umpasa ini :
“Sinuan Bulu mambaen Las, Sinuan partuturan sibahen horas “
Itulah sebabnya di kampung kita banyak sekali terdapat tanaman bambu = bulu. Selain dimaksudkan untuk menangkal musuh dan ancaman hewan buas, bambu tadi ternyata sengaja dibuat untuk menciptakan rasa hangat melingkupi rumah sekelilingnya. Logis kan…? Simpelnya begini, kawanan bambu yang saling mengait akan menghambat hembusan angin.
Leluhur batak menyebutkan bahwa ada 3 unsur kehidupan ; darah, nafas, dan rasa hangat. Hangat dalam bahasa kita adalah ‘ las ‘. Kita tentu paham ucapan semacam ‘ las roha ‘..adalah ungkapan yang menggambarkan rasa sukacita yang dalam. Dari sini, kita makin paham, kehangatan adalah hal yang teramat di inginkan bangso kita.
Dulu, leluhur mengandalkan sinar matahari dan perapian sebagai pencipta rasa hangat. Tapi setelah dipikir-pikir…matahari itu datang dan pergi tanpa bisa dikontrol, lagipula datangnya siang hari. Sementara malam hari dinginnya minta ampun. Api tidak praktis digunakan waktu tidur karena resikonya besar.
Akhirnya ditemukanlah Ulos. Jangan heran kalau ulos yang kita kenal sekarang dulunya dipakai tidur lho. Tapi jangan salah juga, dulu..kualitasnya jauh lebih tinggi, tebal, lembut, dan motifnya sangat artistik.
Sejak saat itu, ulos makin digemari karena praktis. Kemana saja mereka melangkah, selalu ada ulos yang siap membalut tubuhnya dalam kehangatan. Ulospun jadi kebutuhan yang vital, karena sekaligus juga dijadikan bahan pakaian yang indah = uli. Kalau ada pertemuan kepala-kepala kampung, seluruh peserta melilitkan ulos di tubuhnya.
Sedemikian pentingnya ulos ini untuk kehidupan sehari-hari, sehingga para leluhur kita selalu memilih ulos sebagai hadiah atau pemberian untuk orang-orang yang mereka sayangi. Dan begitulah awal mula ditemukannya ulos. Ulos sendiri memiliki banyak jenis. Berikut saya akan menjabarkan sebagian dari jenis-jenis ulos :
Di daerah tadi, tentu saja suhunya sangat dingin dan leluhur kita selalu mencari akal untuk menciptakan rasa hangat yang ideal. Satu contohnya bisa kita lihat dari umpasa ini :
“Sinuan Bulu mambaen Las, Sinuan partuturan sibahen horas “
Itulah sebabnya di kampung kita banyak sekali terdapat tanaman bambu = bulu. Selain dimaksudkan untuk menangkal musuh dan ancaman hewan buas, bambu tadi ternyata sengaja dibuat untuk menciptakan rasa hangat melingkupi rumah sekelilingnya. Logis kan…? Simpelnya begini, kawanan bambu yang saling mengait akan menghambat hembusan angin.
Leluhur batak menyebutkan bahwa ada 3 unsur kehidupan ; darah, nafas, dan rasa hangat. Hangat dalam bahasa kita adalah ‘ las ‘. Kita tentu paham ucapan semacam ‘ las roha ‘..adalah ungkapan yang menggambarkan rasa sukacita yang dalam. Dari sini, kita makin paham, kehangatan adalah hal yang teramat di inginkan bangso kita.
Dulu, leluhur mengandalkan sinar matahari dan perapian sebagai pencipta rasa hangat. Tapi setelah dipikir-pikir…matahari itu datang dan pergi tanpa bisa dikontrol, lagipula datangnya siang hari. Sementara malam hari dinginnya minta ampun. Api tidak praktis digunakan waktu tidur karena resikonya besar.
Akhirnya ditemukanlah Ulos. Jangan heran kalau ulos yang kita kenal sekarang dulunya dipakai tidur lho. Tapi jangan salah juga, dulu..kualitasnya jauh lebih tinggi, tebal, lembut, dan motifnya sangat artistik.
Sejak saat itu, ulos makin digemari karena praktis. Kemana saja mereka melangkah, selalu ada ulos yang siap membalut tubuhnya dalam kehangatan. Ulospun jadi kebutuhan yang vital, karena sekaligus juga dijadikan bahan pakaian yang indah = uli. Kalau ada pertemuan kepala-kepala kampung, seluruh peserta melilitkan ulos di tubuhnya.
Sedemikian pentingnya ulos ini untuk kehidupan sehari-hari, sehingga para leluhur kita selalu memilih ulos sebagai hadiah atau pemberian untuk orang-orang yang mereka sayangi. Dan begitulah awal mula ditemukannya ulos. Ulos sendiri memiliki banyak jenis. Berikut saya akan menjabarkan sebagian dari jenis-jenis ulos :
1. Ulos
Antak-Antak
Ulos ini
dipakai sebagai selendang orang tua untuk melayat orang yang meninggal, selain
itu ulos tersebut juga dipakai sebagai kain yang dililit pada waktu acara
manortor (menari).
2. Ulos
Bintang Maratur
Ulos ini
merupakan Ulos yang paling banyak kegunaannya di dalam acara-acara adat Batak
Toba yakni:
Kepada anak
yang memasuki rumah baru. Keberhasilan membangun atau memiliki rumah baru di
anggap sebagai salah satu bentuk keberhasilan atau prestasi tersendiri yang tak
ternilai harganya. Tingginya penghargaan kepada orang yang telah berhasil
membangun dan memiliki rumah baru adalah karena keberhasilan tersebut dianggap
sebagai suatu berkat dari Tuhan yang maha Esa yang disertai dengan adanya usaha
dan kerja keras yang bersangkutan di dalam menjalani kehidupan.
Orang batak
yang tinggal dan menetap di berbagai puak/horja di sekitar Tapanuli telah
memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda pula. Walaupun konsep dan pemahaman
tentang adat itu secara umum adalah sama, namun pada hal-hal tertentu ada
kalanya memiliki perbedaan dalam hal pemaknaan terhadap nilai dan konsep adat
yang ada sejak turun-temurun. Oleh karena itu pemberian Ulos Bintang Maratur
khusus di daerah Silindung di berikan kepada orang yang sedang bergembira dalam
hal ini sewaktu menempati atau meresmikan rumah baru.
Secara khusus
di daerah Toba Ulos ini diberikan waktu acara selamatan Hamil 7 Bulan yang
diberikan oleh pihak hula-hula kepada anaknya. Ulos ini juga diberikan kepada
Pahompu (cucu) yang baru lahir sebagai Parompa (gendongan) yang memiliki arti
dan makna agar anak yang baru lahir itu di iringi kelahiran anak yang
selanjutnya, kemudian ulos ini juga di berikan untuk pahompu (cucu) yang baru
mendapat babtisan di gereja dan juga bisa di pakai sebagai selendang.
3. Ulos
Bolean
Ulos ini
biasanya di pakai sebagai selendang pada acara-acara kedukaan.
4. Ulos
Mangiring
Ulos ini
dipakai sebagai selendang, tali-tali, juga Ulos ini diberikan kepada anak cucu
yang baru lahir terutama anak pertama yang memiliki maksud dan tujuan sekaligus
sebagai Simbol besarnya keinginan agar si anak yang lahir baru kelak diiringi
kelahiran anak yang seterusnya, Ulos ini juga dapat dipergunakan sebagai
Parompa (alat gendong) untuk anak
5. Ulos Sibolang
Rasta Pamontari
Ulos ini di pakai
untuk keperluan duka dan suka cita, tetapi pada jaman sekarang, Ulos Sibolang
bisa dikatakan sebagai simbol duka cita, yang di pakai sebagai Ulos Saput
(orang dewasa yang meninggal tapi belum punya cucu) dan di pakai juga sebagai
Ulos Tujung untuk Janda dan Duda dengan kata lain kepada laki-laki yang
ditinggal mati oleh istri dan kepada perempuan yang di tinggal mati oleh suaminya.
Apabila pada peristiwa duka cita Ulos ini dipergunakan maka hal itu menunjukkan
bahwa yang bersangkutan adalah sebagai keluarga dekat dari orang yang
meninggal.
6. Ulos
Ragi Hotang
Ulos ini di
berikan kepada sepasang pengantin yang sedang melaksanakan pesta adat yang di
sebut dengan nama Ulos Hela. Pemberian ulos Hela memiliki makna bahwa orang tua
pengantin perempuan telah menyetujui putrinya di persunting atau diperistri
oleh laki-laki yang telah di sebut sebagai “Hela” (menantu). Pemberian ulos ini
selalu di sertai dengan memberikan mandar Hela (Sarung Menantu) yang
menunjukkan bahwa laki-laki tersebut tidak boleh lagi berperilaku layaknya
seorang laki-laki lajang tetapi harus berperilaku sebagai orang tua. Dan sarung
tersebut di pakai dan di bawa untuk kegiatan-kegiatan adat.
Mungkin itu saja ini penjelasan saya kali ini, hal yang dapat saya ambil adalah, sistem
kebudayaan adat (semua kebudayaan,bukan hanya kebudayaan batak) baik untuk
dilestarikan, namun harus kita sesuaikan dengan keagamaan. Karena biasanya kebudayaan asli agak berlawanan dengan
ajaran agama.
Baiklah sekian penjelasan saya tentang
asal-usul,sistem kekerabatan,rumah adat,dan pakaian adat dari suku batak toba.
Bila ada kesalahan dalam penulisan,pemikiran dan penjelasan, saya minta maaf
yang sebesar-besarnya. Trimakasih atas perhatiannya
Sumber/Referensi Bacaan :
http://berandabatak.blogspot.com/2013/09/jenis-jenis-ulos-dan-fungsinya_1.html